Maret 11, 2010

Problematika perekonomian Indonesia dan perusahaan multinasional sebagai penguasa baru dunia

Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, terletak di garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Karena letaknya yang berada di antara dua benua, dan dua samudra, ia disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Terdiri dari 17.508 pulau, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan populasi sebesar 222 juta jiwa pada tahun 2006, Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, meskipun secara resmi bukanlah negara Islam. Bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik, dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden yang dipilih langsung. Ibukota negara ialah Jakarta. Indonesia berbatasan dengan Malaysia di Pulau Kalimantan, dengan Papua Nugini di Pulau Papua dan dengan Timor Leste di Pulau Timor. Negara tetangga lainnya adalah Singapura, Filipina, Australia, dan wilayah persatuan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India.

Sejarah Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa lainnya. Kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting setidaknya sejak sejak abad ke-7, yaitu ketika Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan Tiongkok dan India. Kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha telah tumbuh pada awal abad Masehi, diikuti para pedagang yang membawa agama Islam, serta berbagai kekuatan Eropa yang saling bertempur untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku semasa era penjelajahan samudra. Setelah sekitar 350 tahun penjajahan Belanda, Indonesia menyatakan kemerdekaannya di akhir Perang Dunia II. Selanjutnya Indonesia mendapat tantangan dari bencana alam, korupsi, separatisme, proses demokratisasi dan periode perubahan ekonomi yang pesat.


Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa dan agama yang berbeda. Suku Jawa adalah grup etnis terbesar dan secara politis paling dominan. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka tunggal ika" ("Berbeda-beda tetapi tetap satu"), berarti keberagaman yang membentuk negara. Selain memiliki populasi besar dan wilayah yang padat, Indonesia memiliki wilayah alam yang mendukung tingkat keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia.
Terlepas dari itu semua, Negara yang indah nan permai ini, sungguh sangat memprihatinkan. Sumber daya alam yang melimpah dan tersebar hampir di seluruh pulau, ternyata belum bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Justru banyak rakyat yang belum bisa menikmati dari hasil sumber daya alam Indonesia yang melimpah-ruah tersebut secara maksimal dan menyeluruh. Masih banyak rakyat Indonesia yang mengalami kesulitan ekonomi. Tak seharusnya Negara yang begitu kaya akan sumber daya alamnya dan keanekaragaman hayati ini, dibuat sebagai Negara pengemis oleh bangsa asing yang hendak ingin menjajah Indonesia dengan cara yang halus.
Sebagai negara yang telah merasakan segala bentuk keterpurukan akibat hempasan-hempasan gelombang globalisasi. Indonesia bisa menjadi laboratorium kegagalan bagi usaha memakmurkan bangsa apabila globalisasi dengan ideologi neoliberalismenya dibiarkan merajalela oleh kaum intelektual dan praktisi ekonomi politik.
Naiknya Suharto menjadi presiden kedua RI menggantikan Sukarno di tahun 1966 diiringi dengan dikeluarkannya UU No 1 Tahun 1967 yaitu UU Penanaman Modal Asing membuat terbukanya ruang investasi di Indonesia bagi investor-investor asing. Pemerintahan Soeharto menghapus semua hambatan bagi modal internasional untuk menguasai sumber daya alam dan tenaga manusia di Indonesia. Awal tahun 1971 sebuah kesepakatan dibuat untuk membagi-bagi mineral Indonesia kepada perusahaan asing seperti Caltex, Frontier, IIAPCO-Sinclair dan Gulf-Western. Empat tahun sebelumnya, Soeharto terlebih dahulu menyerahkan 1,2 juta hektar tanah di Papua kepada Freeport McMoran dan Rio Tinto. Aturan fiskal disesuaikan sedemikian rupa sehingga memungkinkan perusahaan-perusahaan ini mengalirkan pendapatannya langsung ke pusat-pusat kemakmuran di Amerika Serikat, Jepang dan Eropa.
Mendengar isu-isu tentang akan adanya globalisasi, Indonesia sekarang ini dinilai belum mampu menghadapi globalisasi yang cepat atau lambat akan hadir di tengah peradaban manusia abad ini. Globalisasi adalah proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak menganal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dan gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang pada akhirnya sampai pada duatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia.
Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu semakin di persingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain-lain. Teknologi komunikasi dan informasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan pelbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu, globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya.










Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
1. Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.
2. Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.
3. Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.

Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
1. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang

2. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
3. Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
4. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
5. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.

Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Globalisasi membawa banyak tantangan baik itu menyangkut bidang sosial, budaya, ekonomi, politik, bahkan menyangkut semua aspek kehidupan manusia. Namun, globalisasi juga menjanjikan harapan harapan dan kemajuan. Diantara harapan dan kemajuan yang menjanjikan, adalah pertumbuhan ekonomi yang pesat, pada negara-negara yang rajin dan bersungguh-sungguh. Pertumbuhan ekonomi adalah alat untuk menciptakan kemakmuran masyarakat, termasuk bagi bangsa Indonesia sebagai bagian dari Asia Tenggara. Sebelum terjadinya krisis ekonomi 1997 -dampaknya masih terasa hingga hingga sekarang --, dalam tiga dasawarsa (1967-1997) beberapa negara dikawasan serumpun Asean telah menikmati pertumbuhan ekonomi pesat.
Bank Dunia menyebut beberapa negara dikawasan ini sebagai "The Eight East Asian Miracle", yang tumbuh menjadi macan Asia diantaranya Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, Thailand, Singapura, Malaysia. Dibidang ekonomi ini, negara negara Asean menikmati pertumbu¬han rata rata 7 8 % pertahun waktu itu, sementara Amerika dan Uni Eropa hanya berkesempatan menikmati tingkat pertumbuhan ekonomi rata rata 2,5 sampai 3 % pertahun. Pertambahan penduduk Asean sekitar 350 juta, bisa saja bertambah banyak ditahun 2003 saat memasuki AFTA. Populasi itu diperkirakan akan mencapai jumlah yang besar, mungkin 500 juta (Adi Sasono, Cides, 1997).
Bila pertumbuhan ekonomi ini dapat dipelihara, Insya Allah pada tahun 2019, saat skenario APEC, maka kawasan ini akan menguasai 50,7 % kekayaan dunia. Kemungkinan sekali, Amerika dan Uni Eropa hanya 39,3% dan selebihnya 10 % dikuasai Afrika dan Amerika Latin (Data Deutsche Bank, 1994). Apa artinya semua ini? Kita akan menjadi pasar raksasa yang akan diperebutkan oleh orang orang di sekeliling. Pertumbuhan ekonomi itu tidak bertahan lama. Beberapa negara menjadi lumpuh berhadapan dengan multi krisis tersebab fondasinya tidak mengakar dan ketahanan umatnya lemah. Lanjutannya, maka bangsa serumpun akan berhadapan dengan "Global Capitalism". Kalau kita tidak hati hati keadaan ini akan bergeser menjadi "Capitalism Imperialism" menggantikan "Colonial¬ism Imperialis" yang sudah kita halau sejak lebih setengah abad silam. Dengan "Capitalism Imperialism" kita akan terjajah di negeri sendiri tanpa kehadiran fisik si penjajah.
Menghadapi Era Globalisasi dengan instrumen pasar bebas dan privatisasi ekonomi saat ini. Kaum buruh di Indonesia, secara perlahan namun pasti mulai berada dalam kondisi dilematis dalam menempatkan dirinya pada posisi “politis” dan ’sosial” yang akan semakin tergantung kepada nafsu kekuasaan negara atau modal.



Serbuan liberalisasi modal, secara cepat maupun lambat-laun akan mematikan perusahaan domestik yang tidak siap bersaing. Begitu pula dengan pasar kerja domestik, akan “diserbu” oleh tenaga kerja asing (expart) dari negara-negara maju dengan tingkat kompetensi (ahli) yang lebih baik. Demikian akhirnya banyak buruh-buruh di negeri ini yang akan kehilangan lapangan kerja atau tersingkir oleh kompetisi pasar kerja yang dehumanis.
Secara perlahan-lahan namun pasti, era globalisasi akan menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi bagi kaum buruh, dengan segelintir pemegang Otoritas Kuasa atau Modal perusahaan MNC atau TNC, akan berkuasa atas kebijakan industrial dan pasar barang produksi.
Era Globalisasi juga secara tidak langsung akan mencipta perangkat “politik”, yang menjadikan kaum buruh “hanya” sekadar sapi perahan atau lebih tepat disebut sebagai alat produksi berbiaya (gaji) murah, bahkan Negara akan menggunakan buruh sebagai suatu komoditi yang akan dipersaingkan untuk daya tarik investasi.
Negara akan “mengiklankan” buruh bergaji rendah plus kemudahan berinvestasi sebagai daya tarik investasi bagi pemodal asing dengan mendewakan pertumbuhan ekonomi negara. Dengan demikian Negara yang kita harapkan sebagai alat perlindungan bagi rakyat (termasuk buruh) akan berbalik dari rakyat untuk menjadi “kaki – tangan” dari pemodal untuk menindas rakyat (buruh) sendiri.
Para pemodal (MNC atau TNC) akan menjadikan “negara” (kekuasaan politik) sebagai alat pelindung kekuasaan modal dan pasar, yang memberikan keuntungan progresif bagi para aparaturnya. Pada akhirnya hak subsistentif, rakyat (termasuk buruh) mayoritas akan terabaikan. Justru rakyat (buruh) tidak lagi mendapatkan paket perlindungan sosial dan jaminan hak dasar sebagai pemilik kedaulatan negara.


Arus Globalisasi dan pasar bebas sendiri, akan berakibat dua hal pada kehidupan kaum buruh di Indonesia. Pertama, akan menjadikan kaum buruh sebagai “sapi perahan” oleh kekuasaan modal, dengan mengatas-namakan “dalih” produktivitas kerja. Sehingga, kaum buruh di Indonesia, yang mayoritas berpendidikan rendah lambat-laun akan termiskinkan / termarjinalkan dan kehilangan lahan pekerjaan. Hal ini jelas merupakan kesalahan pendidikan sosial/politik “penguasa” yang tidak pernah memperhatikan nasib anak didik, yang akhirnya terjun ke lapangan kerja menjadi buruh “kerah biru”.
Kedua, posisi tawar dan kekuatan politik buruh akan semakin lemah dalam beragam kebijakan politik perburuhan dan politik modal. Negara (pemegang kuasa) akan lebih menuruti keinginan para pemodal asing atau perusahaan besar “global’ (MNC atau TNC) untuk menekan hak politik kaum buruh. Demikian dalam catatan sepanjang tahun 2003 hingga kini, di mana dengan diabsahkannya RUU Ketenaga-kerjaan No 25 tahun 1997, oleh parlemen, posisi kaum buruh dilemahkan secara politik dan dalam berbagai konflik hubungan industrial. Bisa dibayangkan nantinya, kaum buruh di Indonesia benar-benar menjadi “robot” produktivitas kepentingan perusahaan global. Menjadi lapis bawah atau massal tenaga murahan yang tidak memiliki kuasa menentukan perubahan nasib sosiologisnya.

Tuntutan pekerja untuk mendapatkan upah dan imbalan kerja lainnya nyaris selalu menimbulkan ketegangan dengan pengusaha ataupun pemerintah. Perusahaan, dengan landasan kepentingan peningkatan keuntungan dan modal, dapat membuat aturan yang kian menekan kesejahteraan karyawan. Sementara pemerintah selaku regulator —sekaligus mediator bagi keduanya — mempunyai kepentingan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi makro melalui masuknya investasi, kalau perlu dengan menekan upah minimum pekerja. Kondisi ini, mau tidak mau, selalu membuat pekerja terperangkap di antara kepentingan perusahaan dan kepentingan pemerintah.


Melihat semua ini, maka beberapa “tugas mendesak” dari kaum untuk menghadapai ancaman globalisasi saat ini adalah : Pertama, melakukan proses edukasi politik “liberalif” dan “transformatif” secara konsisten dalam wilayah pengorganisasian komunitas buruh. Materi edukasi harus meningkat secara kualitas dengan berperspektif kesadaran kelas dan gerakan advokasi buruh dalam berbagai jenjang pemikiran.
Kedua, mensolidkan bangunan organisasi kaum buruh dalam “unionisme” organisasi gerakan yang memiliki program sosial, ekonomi, budaya dan politik yang “antitesis” terhadap perkembangan globalisasi, pasar bebas, dan kekuasaan modal (negara).
Ketiga, mempersiapkan diri dalam membentuk media perjuangan politik melalui parlemen dan ekstra-parlemen yang didukung oleh organisasi massa buruh dan komunitas buruh. Ormas buruh, bisa membentuk partai politik alternatif yang berbasis massa riil dan memiliki program alternatif perjuangan kaum buruh.
Keempat, menggiatkan kampanye politik, untuk memperjuangkan isu, program, tuntutan obyektif kaum buruh secara terus-menerus. Kampanye demikian sekaligus menjadikan organisasi atau aksi kaum buruh menjadi the reference group dalam proses sirkulasi kebijakan negara. Khususnya kebijakan dalam politik perburuhan atau relasi industrial.
Kesadaran buruh untuk terus merapatkan barisan dan mereposisi diri melalui wadah perburuhan sebagai sarana perjuangan bersama kaum pekerja, diharapkan akan menjadi alat efektif dalam memanusiakan kaum buruh dalam menghadapi pusaran Globalisasi dewasa ini.
Neo kolonialisme adalah bahya terbesar yang akan dialami oleh Negara-negara miskin dan berkembang, saat mereka membutuhkan biaya untuk melakukan pembangunan di negaranya dan mulai meminta pinjaman kepada Negara-negara pendonor yang kelihatan menolong tetapi sang penjajah gaya baru yang berkedok sebagai sang malaikat penolong, dengan meminjamkan sejumlah dana berarti bargaining position yang baik terhadap pengutangnya, dan biasa ketika Negara pengutang sangat membutuhkan dana untuk menghindari keadaan perekonomian dari bahaya bangkrut. Sang pendonor memberikan persyaratan tertentu bagi penerima dana misalnya pemerintah diminta untuk mengambil alih hutang-hutang perusahaan swasta, mau menerima bibit pangan transgesik yang belum teruji benar baik dikonsumsi oleh manusia dan setuju membeli barang-barang untuk membeli proyek pembangunan yang berasal dari negara pemberi dana. Padahal barang tersebut sudah bisa dibuat di dalam negeri dan harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan mengimpornya. Karena tidak mempunyai pilihan lain akhirnya negara penerima dana harus takluk dengan menyanggupi untuk menjalankan persyaratan yang sebenarnya sangat merugikan.
Ini adalah gaya neo kolonial para penjajah, mereka biasanya mengajukan persyaratan yang berat san merugikan, bedanya dengan neo kolonial adalah hanya alatnya saja, dulu mereka memakai kekuatan senjata sekarang masuk dengan dengan kekuatan yang keliahatan lebih halus tetapi mematikan yaitu kekuatan uang yang berlimpah, efeknya adalah sama membuat rakyat merana dan menderita dengan menanggung beban psikologis yang cukup berat.
Noe kolonialisme masuk biasanya ke dalam suatu negara dengan berlindung dari kampanye globalisasi yang disuarakan oleh negara-negara kapitalis. Industri-industri yang meraksasa dan didukung oleh media yang terus menerus berbicara mengenai kebudayaan-kebudayaan modern yang belum tentu cocok dengan kebudayaan lokal, seakan-akan menghantam dunia setiap saat.
Dalam membahas tentang perusahaan multinasional timbul pertanyaan mengapa peraturan dianggap sebagai sesuatu yang penting. Hal pertama yang harus kita perhatikan adalah dengan melihat asal dari perusahaan multinasional setelah berakhirnya perang. Yang kedua, hal tersebut harus ditempatkan lebih modern sebagai subyek permasalahan dalam hal ini. Yang ketiga adalah seiring dengan maksud atau arti yang diberikan kepada ungkapan “Perusahaan Multinasiaonal (Multinational Enterprises)” harus dapat dimengerti secara umum, dimana memiliki konsep fleksibilitas dan keterbukaan yang membuatnya mampu untuk mencakup banyak format asosiasi bisnis internasional yang berbeda.


Awalnya perusahaan transional asing atau multinasional mulai meberikan pengaruh kepada masyarakat lokal dengan meyebarkan life style atau gaya hidup melalui media yang mereka miliki. Media elektronik merupakan media yang paling efektif karena media ini terus menerus didengungkan sehingga kebanyakan manusia banyak yang terpengaruh dengan isu-isu tersebut. Hal ini persis seperti propaganda yang disampaikan setiap saat sewaktu akan terjadinya perang. Memang sekarang ini sedang terjadi perang yaitu perang kebudayaan yang sebagian orang menganggap lebih beradab dibandingkan dengan perang dalam arti sebenarnya.
Saat masyarakat sudah terpengaruh dengan terbentuknya dan tersebanya opini-opini positif, perusahaan-perusahaan mulai manancapkan kakuatan di negara yang ingin di invansinya. Biasanya mereka menggunakan tiga buah cara untuk menanamkan pengaruh perusahaannya terhadap negara yang ditanami invetasi olehnya. Yang pertama dinamakan sub kontrak yang berarti sang perusahaan hanya memiliki trade mark saja, produknya dikerjakan di negara lain yang umumnya dibuat di Negara-negara berkembang seperti Indonesia. Pemegang merek dagang atau perusahaan multinasional tersebut mejatuhkan pilihannya dikarenakan upah buruh di Negara berkembang termasuk Indonesia itu dibilang cukup murah dan bahan baku yang melimpah ruah serta pangsa pasarnya cukup besar. Contohnya ialah perusahaan otomotif, seperti Honda, Toyota, Ford, dan lain-lain.
Mekanisme dan proses globalisasi yang diperjuangkan oleh aktor-aktor globalisasi seperti perusahaan transnasional yakni perusahaan multinasional yang besar, Bank Dunia, IMF melalui kesepakatan yang dibuat dalam WTO sesungguhnya dilandaskan pada suatu ideologi yang dikenal dengan neo liberalisme. Paham neo liberalisme secara prinsipil tidak berbeda dengan paham liberalisme yang lama, hanya saja karena waktu, konteks kemunculannya kembali serta skala dan strateginya yang berbeda sudah tentu jawabannya berlainan. Inti neo liberalisme adalah dilepaskannya hak istimewa atas modal dari berbagai tata aturan teritorial maupun nasional.


Sebagai negara yang telah merasakan segala bentuk keterpurukan akibat hempasan-hempasan gelombang globalisasi. Indonesia bisa menjadi laboratorium kegagalan bagi usaha memakmurkan bangsa apabila globalisasi dengan ideologi neoliberalismenya dibiarkan merajalela oleh kaum intelektual dan praktisi ekonomi politik.
Semenjak dikeluarkannya UU No 1 Tahun 1967 yaitu UU Penanaman Modal Asing membuat terbukanya ruang investasi di Indonesia bagi investor-investor asing. Pemerintahan Soeharto menghapus semua hambatan bagi modal internasional untuk menguasai sumber daya alam dan tenaga manusia di Indonesia. Awal tahun 1971 sebuah kesepakatan dibuat untuk membagi-bagi mineral Indonesia kepada perusahaan asing seperti Caltex, Frontier, IIAPCO-Sinclair dan Gulf-Western. Empat tahun sebelumnya, Soeharto terlebih dahulu menyerahkan 1,2 juta hektar tanah di Papua kepada Freeport McMoran dan Rio Tinto. Aturan fiskal disesuaikan sedemikian rupa sehingga memungkinkan perusahaan-perusahaan ini mengalirkan pendapatannya langsung ke pusat-pusat kemakmuran di Amerika Serikat, Jepang dan Eropa.
Dominasi perusahaan multinasional disektor pertanian terlihat dengan dikuasainya produksi dan pasar sarana produksi pertanian (benih dan agrokimia), menguasai pasar produk pertanian dan menguasai produksi serta pasar bahan pangan olahan hingga tingkat pengecer. Integrasi ini semakin nyata dibidang rekayasa genetic tanaman pertanian. Monsanto, Syngenta dan Dupont merupakan tiga perusahaan bioteknologi benih teratas, dimana Monsanto menguasai 91 persen dari benih transgenic.

Di Indonesia, Monsanto lewat anak perusahaan PT Monagro Kimia menyuap 140 pejabat tinggi Indonesia untuk meloloskan produknya. Mosanto memiliki paten atas semua hasil transgeniknya. Penguasaan paten atas bahan tanaman berdampak mengubah benih dari milik public menjadi milik privat. Hal ini mengakibatkan dua dampak yaitu petani kehilangan hak untuk menyimpan, menanam kembali, saling menukar dan memuliakan benih (suatu hal inheren yang ada sejak berabad-abad lalu dikalangan masyarakat petani). Kedua harga benih menjadi mahal karena pemakai harus membayar biaya teknologi dan royalty. Selain itu, benih pabrik dirancang untuk digunakan dalam satu paket dengan pupuk atau pestisida produk perusahaan yang sama. Bidang ketenagakerjaan merupakan bukti bahwasanya kekuasaan perusahaan multinasional tidak hanya dibidang finansial saja tetapi juga dibidang politik. Revisi UU ketenagakerjaan dan kebijakan tentang upah merupakan upaya untuk memudahkan perusahaan multinasional tersebut untuk memecat para pekerja dan mengebiri serikat buruh.

Perusahaan multinasional lain yang sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia adalah perusahaan minyak dan gas terbesar didunia, ExxonMobil. Perusahaan hasil merger Exxon dengan Mobil pada tahun 1999 sudah beroperasi lebih dari 100 tahun di Inonesia. Raksasa tambang ini merupakan produsen gas alam terbesar kedua di Indonesia, setelah Total Indonesie. Exxon mulai menambang gas di ladang Arun, Aceh dan sekitarnya pada tahun 1978.

Eksplorasi yang dilakukan ExxonMobil di daerah Arun, Aceh dan sekitarnya hingga tahun 2002 sudah menguras 70 persen cadangan gas. Ditahun 2006, ExxonMobil memperluas daerah tambangnya hingga Blok Cepu. Pro kontra mengenai jatuhnya Blok Cepu ke tangan Exxon Mobil sempat mencuat. Bagi Ariadi Subandrio4, titik balik persoalan Blok Cepu bermula dari munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 34/2005 yang mengamandemen PP No 35/2004 tentang kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Sebelum PP No 35/2005 diamandemen, kontrak yang berlaku di Cepu antara Pertamina dan ExxonMobil adalah kontrak bantuan teknis (Technical Assistance Contract/TAC). Artinya, didalam kontrak yang berakhir tahun 2010 itu, ExxonMobil hanya membantu Pertamina. Menurut Ariadi Subandrio, kontrak ini seharusnya tetap berlaku meski UU Minyak dan Gas No 22 /2001 tidak mengenal kontrak bantuan teknis.

Pada kenyataannya, berbekal PP No 34/2005, pemerintah mengambil alih wilayah kerja Cepu dari Pertamina. Tanggal 17 September 2005, pemerintah yang diwakili oleh BP Migas menandatangani kontrak kerjasama Blok Cepu dengan Pertamina dan ExxonMobil dan masa kontrak diperpanjang hingga 2030.










Tidak hanya ExxonMobil yang ingin menambah penderitaan rakyat Indonesia dengan merampas seluruh kekayaan sumber daya alam Indonesia tetapi masih banyak lagi perusahaan multinasional yang menancapkan kakinya lebih kuat lagi di Indonesia dengan berbagai konflik yang ditimbulkan, seperti PT Freepot, PT Newmont dan lain sebagainya. Jatuhnya Blok Cepu ke ExxonMobil atatupun perpanjangan kontrak Freeport yang tidak memberikan perubahan kemajuan untuk masyarakat yang berada disekitar Freeport ataupun kurang tegasnya pemerintah terhadap kasus pencemaran Teluk Buyat yang dilakukan oleh Newmont mempertegas tunduknya pemerintahan Indonesia pada tekanan-tekanan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional.
Upaya penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia bukan hanya tanggung jawab dan kewajiban Negara tetapi juga merupakan tanggung jawab serta kewajiban aktor non state seperti perusahaan multinasional dan perusahaan bisnis lainnya karena semenjak modal diinternasionalisasikan lewat praktek kolonialisme maupun lewat perusahaan multinasional, rakyat di Indonesia mengalami penderitaan yang luar biasa.
Selama ini Indonesia sudah terjebak didalam jeratan IMF dan lembaga bantuan luar negeri lainnya, yang secara langsung mengakibatkan banyak sekali rakyat kecil yang menderita dan harus menanggung utang negaranya. Selain itu struktural adjustment, yang menyebabkan banyaknya perusahaan asing melenggang bebas keluar masuk di Indonesia juga menambah penderitaan pengusaha kecil. Namun sekarang ketika Indonesia sudah lepas dari IMF, sudah seharusnyalah Indonesia mulai mencari suatu model pembangunan yang dapat mengakomodasi kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Dari hal ini, menurut saya sudah seharusnya Indonesia dapat mengikuti jejak negara – negara skandinavia yang menggunakan Welfare State sebagai model pembangunannya, dimana terbukti negara – negara skandinavia tersebut makmur didalam perekonomiannya dan baik didalam pembangunan sumber daya manusianya, walaupun kondisi dan sumber daya alam yang mereka punyai tidak terlalu baik.

Indonesia diharapkan ketika menggunakan konsep welfare state dapat meningkatkan peran serta rakyatnya didalam perekonomian dan tidak hanya membiarkan mekanisme pasar yang selalu menguasai perekonomian negara. Peningkatan peran masyarakat sendiri dapat tercipta apabila adanya jaminan sosial yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya. Artinya dari Jaminan sosial disini adalah adanya semacam perlindungan yang diberikan pemerintah pusat kepada para pengusaha – pengusaha kecil agar dapat terus berpartisipasi didalam perekonomian negara, sehingga pengusaha kecil tadi tidak terlindas perusahaan multinasional yang bermodal besar.
Namun di Indonesia ini terdapat satu masalah, dimana biasanya pemberian jaminan sosial oleh negara itu tidak merata. Misalnya saja, Jaminan sosial di Papua itu tidaklah sama dengan yang ada di Jakarta, sehingga seringkali pembangunan itu hanya berjalan di Pulau Jawa saja dan daerah lainnya tetap tertinggal. Hal seperti ini apabila dibiarkan, maka akan menimbulkan disparitas yang bersentimen buruk kepada pembangunan nasional. Oleh sebab itu, sudah seharusnya pembangunan yang berorientasi kepada welfare state itu dapat berjalan secara merata dan adil di seluruh wilayah Indonesia. Apabila hal ini telah berjalan, bukan tidak mungkin, anak cucu kita atau bahkan kita sendiri akan menikmati Indonesia yang makmur dan sejahtera, yang selama ini hanya menjadi cita – cita belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar