Mei 25, 2010

Dia

Dia, begitu aku menyebutnya. Tidak di hadapannya, hanya di labirin-labirin hatiku yang selamanya menganga karena kering dilanda kemarau yang panjang akan dirinya. Aku berdiri di dekatnya, merasakan geletar alir darahnya, juga mendengarkan degup merdu jantungnya. Namun, dalam jarak yang hampir tidak ada rentang itu, aku tak mampu menggapainya...


Dia adalah sahabatku, kawan yang suka menitikkan air mata atas berbagai cerita sendu dukanya, kawan yang terbiasa menitip tawa atas suka citanya, sekaligus sahabat yang selalu membawakan bunga-bunga harum semerbak dalam angan-angan liar mimpiku.


Dia-ku, selamanya adalah bunga mawar yang diciptakan hanya untuk kupuja, tetapi tak kumiliki dimiliki, mungkin tidak untuk kali ini. Tapi siapa yang sanggup berdiri dengan teguh di sisimu, bila aku yang berdiri ini memendam cinta yang terlalu mendalam kepadamu ??...


Bagiku, Dia adalah bunga matahari yang bermekaran, satu puncak cinta yang mekar liar mewangi dalam kuntum-kuntum mimpi yang tidak pernah berakhir. Sampai kapan aku bisa bertahan, untuk tetap setia mencintainya tanpa harus mendekatinya. Sudah bertahun-tahun lembar waktu terkibas bilangan detak-detak jam yang meresahkan, detik-detik yang menitik kian menghantam. Sementara itu, aku masih belum tahu, apakah ia mencintaiku atau tidak. Sungguh aku tak mengharuskan diri untuk memilikinya. Aku tak terlalu perduli akan kepemilikan itu. Sebab yang aku mau hanyalah satu, satu kata yang ingin kudengar dari indah dua belah bibirnya, balasan atas perasaan cintaku. Karena engkau tahu sendiri betapa sakitnya cinta yang tak diberi perhatian, betapa nelangsanya cinta membisu yang tak diperdulikan. Tapi bagaimana mungkin akan kudengar jawaban itu jika meluahkan perasaanku saja aku tak sanggup. Sebab ketika berdiri di depannya, kata-kataku mati, nadiku tersendat dan degup jantungku untuk sesaat itu berhenti. Aku mati terkulai dan terbakar oleh pesonanya.
Lalu, masihkah bisa diharapkan bagi yang telah mati untuk mengucapkan perasaan hatinya ??..



Dia, kapan kiranya aku punya kesempatan untuk mengatakan bahwa aku terlalu mencintainya sampai-sampai aku tak mau berdekatan dengannya karena takut membuat ia terluka oleh duri kata-kataku yang terlantun di bibir kecil. Secuil sayatan yang akan membuat ia menitikkan bening air mata, tak akan pernah aku merelakannya terjadi. Karena senyumnya buatku adalah puncak kebahagiaan. Jikapun aku diberikan surga sebagai bentuk kebahagiaan tertinggi, tak akan aku rela mengambilnya bila dia tidak menikmatinya bersamaku.



Dia, sungguh aku tak berharap sampai memilikimu. Karena hal itu terlalu jauh buatku, aku tak cukup punya keberanian untuk berharap bisa menjadi pemilik jiwa ragamu. Cukup satu saja. Cukup buatku mendengar bahwa engkau juga mencintaiku. Setelah itu, mati pun aku tak terlalu perduli. Tapi kenapa aku tak punya secuil pun keberanian untuk mengatakan kata-kata yang begitu mudah kuumbar dalam jutaan prosa ini. “Aku mencintaimu” menjadi kata-kata terkelu yang pernah aku kenal dalam kosa kata bahasa Indonesia. Seolah, lidahku ini seolah terkutuk untuk mengucapkannya.


Sudah berapa lama aku menggapai-gapai namun tak kesampaian, seperti mengarungi lautan tanpa kutemukan pantai sebagai tempat berlabuh. Aku mau berlabuh di sisimu, di dekatmu, Dewi malamku. Kiranya adakah tempat yang bisa menampung perasaanku yang makin menggila ini? Entahlah, aku butuh bukti, butuh jawaban pasti. Sayangnya, kepastian bukan timbul dari prasangka tapi dari fakta. Dan fakta apa yang sudah aku punya untuk membuat aku yakin? Waktu itu tiada ada sama sekali, bahkan akupun tak kuasa membaca isi hatimu.

Entahlah. I wanna play but I'm must be quit.

1 komentar:

  1. ckckkck bahasa lo rid, sulit dipahami ditengah jam setengah 11 malem ini, hahha. kerenlah. intinya kalo suka ma orang, ungkapin aja, jangan sampe nyesel terus2an :)

    BalasHapus