Aku sadar aku terkena virus yang sejak lama belum aku ketahui dan telah ada sebelumnya, yaitu virus gila akan teh, ahahhaa. Dari kebiasaan menjadi hobi dan dari hobi menjadi gila. Virus itu semakin lama semakin sadis dan terus memaksa aku untuk mencintai teh.
Semenjak kecil, aku selalu disuguhkan secangkir teh hangat diwaktu pagi dan malam hari oleh ibuku. Ibuku sengaja memberikan teh hangat, katanya meminum teh itu bisa memberikan tenaga agar tidak lemas ( sampai sekarang masih teringat terus dan aku percaya, ahahha). Teh yang disuguhkan oleh ibuku itu teh manis (teh hitam) yang diseduh dengan cara tubruk (tah aur atau bahasa kerennya loose leaves) dan itu masih hingga sekarang. Aku sempat bertanya-tanya mengapa ibuku selalu tidak pernah mau menggunakan teh celup dan lebih memilih teh aur/tubruk yang lebih merepotkan sewaktu menyeduhnya. Ia menjawab sederhana, "teh celup kurang enak dan kalau diseduh terasa hambar". Ibu percaya kalau teh itu bisa memberikan tenaga lebih tetapi berbeda dengan ayahku yang gemar juga terhadap teh. Ayah menggangap teh itu merupakan minuman kesehatan dan menjadi obat untuk dia. Ayah meminum teh tidak memakai gula karena ayah penderita diabetes. Beliau meminumnya setiap hari dan mencoba mengganti air putih dengan teh. Teh yang selalu diseduh ayah adalah teh hitam dan teh hijau. Sebelumnya, aku selalu disediakan teh hijau tetapi aku selalu tidak mau meminumnya karena tehnya berasa pahit dan aku beranggapan bahwa teh hijau buat obat (maklum masih kecil dan masih awam tentang teh).
Dari kebiasaan yang terjadi di keluargaku setiap hari kita semua menyeduh teh meminumnya bersama dan kita semua menyukai teh. Mungkin yang mebedakan antara kita, masing-masing mengapresiasikannya berbeda-beda. Ibu mengapresiasikan teh tersebut karena teh bisa memberi tenaga, ayah mengapresiasikan teh sebagai minuman kesehatan, dan aku mengapresiasikan teh sebagai minuman wajib dipagi dan malam hari. Singkat cerita itulah cerita dan apresiasi teh sewaktu aku kecil dahulu.
Aku semakin tertarik dan benar-benar suka akan teh. Segala jenis teh yang ada di pasar aku beli dan meminumnya. Dari situ aku terus mencari kira-kira teh apa yang benar-benar pas dimulutku dan aku mengabaikan perkataan ibuku untuk tidak meminum teh celup. Rasa penasaranku terus menggangguku setiap aku ingin meminum teh, kira-kira teh apa yang paling enak. Seiring berjalannya waktu, secara kebetulan aku bertemu dengan Bapak Bambang Laresolo seorang owner Kedai Teh di Bogor. Pertemuanku berawal dari sebuah tugas kuliah yang mengharuskan untuk membuat proposal usaha yang sesuai dengan hobi (kira-kira 2 tahun lalu). Kebetulan, pertama kali aku browsing di internet aku ketikkan kata "Teh" dan ada sebuah blogger yang menarik perhatianku (http://kedai-teh-laresolo.blogspot.com/). Aku semakin penasaran dan tertarik untuk bertemu dengan penulis blog tersebut dan ingin segera menemuinya. Secepatnya aku pulang dari Bandung ke Jakarta dan berangkat ke Kota Hujan (Bogor) mengendarai sepeda motor untuk mencoba teh-teh yang ada di sebuah kedai mini yang artistik. Saat itu cuaca hujan tetapi itu tidak menghalangi aku untuk bisa secepatnya tiba di sana. Sesampainya aku di sana, aku melihat berbagai pilihan macam menu teh yang tersedia dan teh yang benar-benar membuatku penasaran ialah teh putih (white tea). Aku langsung memesannya dan berharap secepatnya disediakan karena aku benar-benar merasa kedinginan (efek naik motor Jakarta-Bogor kehujanan, ahahhaa). Teh telah tersaji dalam cawan-cawan mungil dan langsungku teguk teh putih tersebut. Dalam hati berkata, " Ini teh kok beda banget sama teh-teh yang pernah gue minum, gak pakai gula, rasanya manis, wanginya sumringah, gak pahit, dan tercium aroma daun segar". Aku terus bertanya kepada Pak Bambang dari mana ini tehnya, harganya berapa, manfaatnya apa, cara pembuatannya bagaimana dan yang paling panting bisa di bawa pulang apa enggak, ahahhaha. Pak Bambang terus bercerita dan berfalsafah mengenai sejarah, seni, budaya, dan manfaat tentang teh. Aku semakin kagum dengan cerita beliau dan salut tetang dedikasi serta apresiasinya terhadap teh. Ternyata teh itu bukan sekedar minuman pelepas dahaga, melainkan minuman kesehatan dan sebuah seni serta budaya.
Berangkat dari kunjungan pertamaku ke kedai teh Laresolo milik Pak Bambang, aku semakin menikmati kunjungan-kunjunganku berikutnya untuk meluangkan waktuku meminum teh di sana. Rasa penasaranku akan teh semakin membesar bagai bom atom yang mau meledak, ahahha lebay. Cuaca, kemacetan jalan, jarak yang jauh, siang atau malam bukan menjadi penghalang untuk bisa ngeteh di kedai Pak Bambang.
Dari dedikasi dan apresiasi Pak Bambang, aku terinspirasi dan mencoba untuk mengajak orang-orang terdekatku untuk bisa meminum teh bersama. Teman-temanku yang datang ke sana mereka semua juga menikmati menu-menu teh yang tersedia dan bersedia kembali (kalau memang ada waktu luang bersama) ke kedai teh tersebut.
Ternyata teh mampu membuat aku ketagihan ibarat sebuah zat nikotin dalam sebuah rokok tetapi zat yang terkandung dalam teh bukan seperti itu juga, melainkan seperti virus positif yang mampu membuat orang menjadi gila (sepertinya saya yang gila, ahahha) dan saya ingin akan terus menginfeksi orang-orang supaya mereka mempunyai nilai apresiasi lebih terhadap teh.
Salam hangat teh untuk semua. :)